BEM Rema UPI menyelenggarakan diskusi mengenai isu yang dilemparkan oleh Menteri Dalam Negeri RI, Tjahjo Kumolo mengenai isu Rektor yang mekanisme pemilihannya akan melibatkan Presiden RI. Diskusi yang diselengarakan Sabtu (3/6) ini merupakan diskusi yang dilakukan oleh Pusat Gerak BEM Rema UPI.

Presiden BEM Rema UPI, Ahmad Fauzi Ridwan berpendapat bahwa dipilihnya rektor oleh presiden RI ini hanya merupakan sebuah uji publik dari pemerintah untuk mengetahui respon rakyat. Fauzi melanjutkan, apabila isu ini dijadikan kebijakan pemerintah, maka akan terjadi pergeseran orientasi penyelenggaraan pendidikan menjadi alat stabilitas negara.

“Nannti orientasinya adalah menjaga stabilitas negara, bukan mencerdaskan bangsa. Jadi kalau dari segi penyelenggaraan pendidikan itu sudah salah. Nanti nilai yang ditanamkan kepada pengelola pendidikan yang ada di pendidikan tinggi, rektor, dekan, itu adalah menjaga stabilitas negara. Bukan untuk menyelenggarakan pendidikan secara seutuhnya,” ujar Fauzi.

Fauzi menyatakan bahwa alasan Mendagri RI mengusulkan isu kebijakan ini karena ada rektor atau pejabat kampus yang berpaham radikal atau terindikasi itu tidak bisa diterima, menurutnya kebijakan ini tidak perlu diterapkan.

“Kalau ada rektor atau pejabat kampus di lingkungan pendidikan yang berpaham radikal atau terindikasi berafiliasi dengan ISIS, berhentikan saja dia! Tidak perlu sampai mengubah sistem pemilihan rektor,” sambung Fauzi.

Fauzi melanjutkan, “Apabila kebijakan ini diterapkan, maka akan terjadi penurunan fungsi akademis, dan peningkatan fungsi politis dalam lingkungan kampus. Dan apabila kebijakan ini diterapkan, khawatirnya siapa saja bisa menjadi rektor, baik itu POLRI, TNI, atau dari kalangan non akademisi lainnya.”

Menteri Pendidikan BEM Rema UPI, Adnan Rais mempertanyakan isu kebijakan ini.
“Kebijakan ini (rektor dipilih presiden) pernah diterapkan sekitar tahun 1990-an, tetapi setelah itu diubah kembali ke pemilihan rektor oleh Kementerian Pendidikan Tinggi, karena pada saat itu presiden sudah terlalu banyak pekerjaannya, dan jika sekarang dikembalikan lagi ke Presiden apakah ini sebuah kemajuan atau kemunduran?”, ujar Adnan.

Adnan menambahkan jika isu kebijakan ini muncul untuk merangkul seluruh rektor agar memiliki satu visi agar mencegah datangnya paham-paham radikal atau anti pancasilais di kalangan intelektual kampus, bukanlah kebijakan yang solutif.

“Jika isu kebijakan ini muncul karena itu, saya rasa ini bukan kebijakan yang solutif. Karena berdasarkan pandangan multikultural, perbedaan pemikiran ataupun gagasan itu memang menjadi sebuah keniscayaan (sudah fitrahnya). Jadi sekalipun rektor dipilih presiden, tidak serta merta menghilangkan paham-paham radikal maupun anti pancasilais, itu akan tetap saja ada karena itu basisnya di grass root, sedangkan rektor belum tentu dapat memahami setiap mahasiswanya, karena rektor nantinya akan dibantu oleh banyak pihak seperti wakil rektor, dekan, dosen, baru ke mahasiswanya, rentangnya terlalu jauh.”

Menteri Dalam Negeri BEM Rema UPI, Muhammad Fauzan Irvan menyatakan tidak setuju dengan adanya isu kebijakan ini.

“Pemerintah tidak dapat mengintervensi Perguruan Tinggi, karena mereka punya hak otonomi sendiri mengelola lembaga, termasuk memilih Rektor. memilih Rektor termasuk bagian integral dari mengatur organisasi dan mengambil keputusan sendiri, dan amanah UU, Perguruan Tinggi memiliki hak otonomi sendiri.” Ujar Fauzan.

Kemudian dari sudut pandang konstitusi, prinsip penyelengaraan pendidikan tinggi menurut UU No 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi adalah Pemerintah bertanggung jawab atas penyelenggaran pendidikan tinggi regulator, fasilitator, dan pengawas.
Dari kewenangan pemerintah di atas, tidak ada secara ekplisit mengaminkan Pemerintah menjadi eksekutor secara teknis mengurusi internal Peguruan Tinggi, dalam hal ini memilih Rektor.

Selanjutnya emberikan otonomi kepada Perguruan Tinggi.
Dalam karakteristik penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Peguruan Tinggi dijelaskan bahwa, Perguruan Tinggi Otonom. PTN dan PTS mempunyai otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya.
Pemerintah tidak dapat mengintervensi Perguruan Tinggi, karena mereka punya hak otonomi sendiri mengelola lembaga, termasuk memilih Rektor. Otonomi akademik merupakan kodrat perguruan tinggi untuk mencari dan menyampaikan kebenaran; kebutuhan dasar perguruan tinggi untuk melaksanakan fungsinya. Otonomi non akademik mengatur organisasi dan mengambil keputusan sendiri.
Dari sini jelas bahwa memilih Rektor termasuk bagian integral dari mengatur organisasi, dan amanah UU, Perguruan Tinggi memiliki hak otonomi sendiri. Mulai dari pengelolaan SDM, pengelolaan Aset, dan pengelolaan keuangan.

“Penjelasan diatas sangat jelas, jadi wacana Rektor dipilih presiden RIs sama saja pemerintah mendustakan UU Pendidikan Tinggi, dan ini sangat tidak baik,” ujar Fauzan mengakhiri pendapatnya.

[Ditjen Komunikasi BEM Rema UPI]


0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.