Oleh Fanny Azzahra

Ada sebuah guyonan tetapi nyata dalam politik. Politik berasal dari bahasa latin yaitu ‘poli’ yang artinya banyak dan ‘tics’ yang artinya serangga penghisap darah. Mereka secara diam-diam beredar diantara banyak manusia mencari peluang untuk menggigit dan mencuri darah manusia. Mereka sangat menyukai darah tersebut karena kaya akan vitamin, menambah energi serta yang paling penting karena mereka sulit memproduksinya sendiri.

Kalimat- kalimat tersebut mungkin menjadi kalimat gambaran yang diucapakan para musuh bangsa atau yang sering mencemoohi bangsa sendiri dan menghujat setiap perilaku politisi. Padahal, sebetulnya menjadi politisi merupakan tugas mulia karena tujuan mereka adalah menyejahterakan rakyat. Para politisilah yang mendirikan partai politik, membuat peraturan partai, membuat ideologi partai, memenangi pemilu bahkan bekerja keras mencapai cita-citanya melalui berbagai lembaga seperti lembaga legislatif.

Lembaga legislatif merupakan lembaga wakil rakyat, dimana anggotanya merupakan perwakilan rakyat, Maka jelas, tugasnya adalah mewakili setiap aspirasi rakyat. Menurut kaidah bahasa, badan legislatif adalah badan yang bertugas untuk menyusun kebijakan untuk dilaksanakan nantinya. Dalam konsep demokrasi, badan legislatif identik dengan badan perwakilan. Artinya, badan legislatif sebagai badan pengemban kedaulatan atau badan yang menjalankan kedaulatan yang bertugas untuk membentuk kebijakan yang mencerminkan keinginan rakyat. Jadi, kebijakan tersebut nantinya bukanlah dari suatu pihak atau golongan semata. Untuk itu, badan legislatif rakyat haruslah mencerminkan representasi dari rakyat-rakyat yang ada.

Pada tingkat negara maupun organisasi kampus, legislatif mempunyai peran sebagai ‘legislatif acts’. Mungkin tidak semua orang paham dengan kata ini, karena memang Legislatif act  adalah  kegiatan legislatif yang jarang terpublikasi, baik terpublikasi prosesnya maupun penyebarannya. Legislatif act merupakan kegiatan legislatif dalam membuat kebijakan. Dimana kebijakan yang dibuat tentunya untuk kesejahteraan rakyat. Agar kebijakan tersebut bersifat menyeluruh dan dapat dilaksanakan oleh semua lapisan rakyat, maka legislatif pun menuangkannya dalam bentuk undang-undang. Undang- undang ini jelas tak dapat di goyahkan dengan mudah. Oleh karena itu, legislatif harus cermat dan teliti dalam pembuatannya.

Berdasar pada fungsi ini, maka bukan hal main-main jika yang dibuat adalah undang-undang yang dengan jelas adalah sebuah konstitusi suatu negara atau organisasi. Namun, pada kenyataanya fungsi ini dinilai sebagai fungsi legislatif yang menunai banyak kontroversi. Sebagai contoh, Undang-undang nomor 20  tahun 2001 tentang pemberantaasn tindak pidana korupsi yang masih memiliki banyak kesalahan. Salah satunya mengenai pasal yang mengatur tentang tindak pidana suap. Ketidakjelasan didalam segi bahasanya menimbulkan banyak perbedaan paham diantara hakim. Bahkan dari segi kepastian hukumnya pun dinilai masih rancu. Antara pemberi suap dan penerima suap diganjar hukuman berbeda dan terpaut jauh. Dalam pasal 5 ayat 1, pemberi suap mendapatkan ancaman pidananya paling tinggi hanya 5 tahun penjara. Sementara dalam pasal 12 huruf A, penyelenggara Negara penerima suap dihukum maksimal 20 tahun. Jelas, kalimat-kalimat ini rancu, tidak adil dan merugikan banyak pihak. Seyogyanya pemberi dan peneriam suap wajib disamakan dalam hukumannya. Selain itu, tindak pidana suap merupakan kesalahan yang merugikan bangsa dan negara.

Ada pula undang-undang rancu yang lucu dan akan menimbulkan banyak persepsi yaitu pasal 285 ayat 1 tentang lalu Lintas dan angkutan jalan;  Setiap pengendara sepeda motor yang tidak dilengkapi kelayakan kendaraan seperti spion, lampu utama, lampu rem, klakson, pengukur kecepatan, dan knalpot dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 bulan atau denda paling banyak 250 ribu rupiah. Disebutkan pengendara sepeda motor yang tidak dilengkapi kelayakan kendaraan seperti knalpot maka akan dipidana. Kalimat yang sangat rancu ini menyebutkan knalpot saja. Tidak ada keterangan standar atau non standar, sehingga polisi di beberapa daerah akan salah mengartikannya. Mungkin ada yang menganggap asal terpasang, mungkin juga ada yang menganggap harus knalpot standar pabrik. Keadaan ini jelas merugikan banyak pihak.

Kenyataan-kenyataan seperti ini bukan tak beralasan. Kurangnya pemahaman mengenai tata bahasa yang benar menjadi landasan kesalahan-kesalahan tersebut. Dengan kata lain, hal ini menguatkan perlunya pelatihan bagi para legislatif dalam pembuatan undang-undang tersebut.

Maka diperlukan sebuah inovasi baru dalam pengangkatan anggota legislatif baik tingkat negara maupun univeritas. Dimana setiap calon anggota minimal harus mempunyai sertifikat lulus tata bahasa atau minimal dalam pembuatan undang-undangnya harus dihadirkan orang yang ahli bahasa. Hal ini menjadi urgent karena legislatif bukan mengurusi satu hal melainkan mengurusi negara atau organisasi besar. Akan banyak masalah terjadi, jika anggota legislatif adalah sarjana, magister, doktor bahkan professor lulusan luar negeri yang mampu mengutarakan segudang argumen dengan banyak teori, namun dalam penuangan kedalam sebuah tulisan ternyata tidak mampu membuat yang dipahami rakyat. Jika hal ini terus dibiarkan, bukan tak mungkin akan terjadi banyak kekacauan yang berujung pada ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintah. Semoga tulisan ini menjadi pencerahan bahkan tamparan bagi setiap Dewan Perwakilan Mahasiswa di lingkungan Universitas Pendidikan Indonesia.

 

 

 

 


0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.