Tokoh              : Prof. Sunaryo Kartadinata, M.Pd.

Hari tanggal    : Senin, 28 Agustus 2017

Waktu             : Pukul 11.00-12.00 WIB

Tempat            : Ruang 108 FIP Baru

Kebijakan Full Day School dan Sekolah 5 hari, akhir-akhir ini semakin santer diberitakan oleh media pasca dikeluarkannya Peraturan Mendikbud no.23 tahun 2017 oleh Mendikbud RI, Muhadjir Effendy. Reaksi masyarakat beragam, baik pro maupun kontra dari mulai kelompok akademisi, komunitas peduli anak, maupun organisasi masyarakat. Namun gelombang protes dari masyarakat dirasa semakin banyak setelah pada Selasa 15 Agustus 2017 ribuan warga NU Tasikmalaya melakukan aksi menolak FDS, disusul beberapa hari setelahnya Aksi serupa dilakukan di daerah Solo. Sementara itu, pemerintah menyatakan bahwa Permendikbud yang dikeluarkan akan segera diganti menjadi Peraturan Presiden dan tidak mewajibkan kebijakan FDS ini diterapkan di semua sekolah, melainkan hanya kepada sekolah-sekolah yang sudah siap saja.

Kementerian Pendidikan BEM REMA UPI 2017 mencoba mengkaji isu FDS ini dan memutuskan untuk berkunjung kepada salah satu Guru Besar di UPI dan juga pakar pendidikan, yaitu Prof. Sunaryo Kartadinata, M.Pd.

Beberapa sekolah sebetulnya sudah melakukan konsep FDS, namun istilah FDS baru ramai akhir-akhir ini. Apa yang menjadi perbedaan? Dan mengapa baru dipermasalahkan?

“Jika misalnya FDS dan Sekolah 5 hari dijadikan sebagai suatu wahana PPK yang memungkinkan siswa lebih lama tinggal di sekolah, maka yang harus dilakukan adalah bagaimana PPK itu terlaksana. PPK sesungguhnya bukanlah mata pelajaran, melainkan suatu lingkungan budaya atau kultur sekolah yang memfasilitasi peserta didik dan seluruh warga sekolah untuk menumbuhkan perilaku-perilaku yang didasarkan pada nilai-nilai tertentu. Lantas apa yang menjadi perbedaan? yaitu perbaikan dari yang selama ini ada. Jika selama ini pembelajaran terlalu fokus pada materi pelajaran, tugas-tugas, tes-tes, dan silabus, maka dari itu FDS adalah proses atau suasana yang berusaha menumbuhkan perilaku tertentu, seperti perilaku jujur, sopan santun, berujar baik, kerja keras, tanggung jawab, semua itu tumbuh dalam proses pembelajaran. Sehingga menjadi tanggung jawab Guru untuk membangun suasana pembelajaran yang dapat menumbuhkan semua perilaku tersebut, karena itu tidak bisa diceramahkan, namun harus banyak dimunculkan dalam bentuk atmosfir, iklim yang pada akhirnya menjadi budaya sekolah. Salah satunya yaitu melalui proses pembelajaran di kelas, sehingga penguatan karakternya ditanamkan di kelas. Bentuk pendekatan lainnya adalah melalui ekstrakurikuler, kesenian, budaya, dan sebagainya. Implikasi dari Penguatan Pendidikan Karakter yang dihendaki, anak perlu lebih lama disekolah karena perlu pembudayaan iklim, dan diharapkan anak tidak dibebankan lagi dengan PR, maka hari-hari sekolah dirasa tidak perlu 6 hari, namun cukup 5 hari agar ada waktu lebih lama berkumpul bersama keluarga. Pelaksanaan PPK ini tidak selamanya dilaksanakan di sekolah, namun bisa saja diluar sekolah bekerja sama dengan masyarakat. Di masyarakat, isu yang  diperdebatkan di itu Full Day School dan Sekolah 5 hari. Padahal itu sebagai implikasi saja. Sedangkan isu yang paling mendasar dan perlu dikaji lebih jauh adalah mengenai Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) nya. Jadi yang sekarang dipertanyakan adalah, jika FDS diterapkan, apakah proses penguatan karakter akan terjamin dapat terlaksana? Begitu pula, apakah tanpa FDS, penguatan karakter tidak dapat ditumbuhkan? Tentu tidak seperti itu. Tapi yang selama ini kan belum terjadi penguatan karakter dalam proses pembelajaran di sekolah. Jadi pada intinya yang harus diubah saat ini bukan jumlah hari sekolah, bukan jam sekolah, karena itu hanya implikasi saja. Melainkan suasana, iklim, atmosfir dan budaya sekolah yang harus dibangun, sehingga penguatan karakter tersebut dapat terlaksana”

Siswa yang mengikuti program Full Day School seperti terkuras tenaganya karena harus beraktivitas di sekolah seharian, sehingga sampai di rumah kelelahan dan langsung istirahat, kemudian esok paginya harus berangkat lagi sekolah. Bagaimana dengan itu, Prof?

Sejak tahun 2001 sampai saat ini, saya dan keluarga saya mendirikan dan mengelola sekolah dasar (SD) 5 tahun, inklusi, 5 hari sekolah, dari jam 07.30 – 15.30, tidak pernah ada siswa atau orang tua yang mengeluh. Bahkan jika tidak diminta pulang, sampai waktu magrib pun masih ada siswa di sekolah. Mengapa itu terjadi? Karena atmostif yang dibangun, bagaimana supaya anak betah tinggal di sekolah. Ini berarti tentang bagaimana proses belajar yang dibangun. Apabila Guru mengajar dengan cara yang menegangkan, membangun kecemasan dan tidak menimbulkan motivasi maka akan sulit siswa betah di sekolah. Jadi berdasarkan pengalaman saya selama 16 tahun mengelola sekolah SD 5 tahun, inklusif, 5 hari sekolah, tidak pernah ada siswa dan orang tua yang mengeluh, karena atmosfir. Jangan dibayangkan bahwa FDS adalah siswa belajar seharian suntuk sehingga pikiran dan tenaganya terkuras, bukan seperti itu. Maka dari itu, yang harus ditekankan adalah anak tidak boleh diberikan PR, siswa harus dibebaskan dari segala beban dari sekolah, biarkan anak belajar secara mandiri.

Bagaimana dengan sarana dan prasarana sekolah serta kualitas Guru yang dirasa belum siap untuk melaksanakan FDS?

“Saya pikir yang pertama kali harus diubah adalah mindset semua pihak terlebih dahulu, terutama di tataran mezo seperti Kepala Dinas. Kepala Sekolah dan sebagainya. Oleh karena itu, bagi saya, tidak perlu melihat kesiapan sarana, tenaga, dan sebagainya, namun mari kita mulai. Karena ketika kita memulai, kita harus dengan belajar. Belajar merubah cara berpikir, mindset, mental Guru dan sebagainya. Pelaksanaan ini pun perlu dukungan manajemen dari tingkat sekolah, tingkat dinas dan seterusnya. Oleh karena itu menurut saya harus dimulai, dengan pengawalan dari pihak pemerintah dan pihak sekolah agar langkahnya konsisten dan persisten.”

Bagaimana tentang pergolakan dari ormas NU mengenai pelaksanaan FDS ini?

“Menurut saya yang harus dibangun saat ini adalah kerja sama dan kolaborasi. Bagaimana caranya kedua institusi ini dapat berkolaborasi dalam mengembangkan penguatan pendidikan karakter. Sebagai contoh, pada jam tertentu anak tidak mesti belajar di sekolah. Bisa saja mungkin sekolah mempersilahkan anak pada waktu duhur untuk berangkat ke Madrasah Diniyah. Saya pikir bisa seperti itu. Jadi bagaimana caranya program di Madrasah Diniyah pun dapat dikoorporasikan supaya mendukung penguatan pendidikan karakter. Di Madrasah Diniyah atau Pesantren sangat kental sekali dengan nilai-nilai karakter seperti religius, gotong royong dan kebangsaan. Namun sekarang diupayakan supaya penguatan nilai-nilai karakter itu dapat lebih tajam dan terdapat kolaborasi. Jadi yang perlu dikedepankan adalah penguatan pendidikan karakternya, bukan FDS atau Sekolah 5 harinya. Ini tidak berarti jika tidak 5 hari dan FDS berarti PPK tidak berjalan. Atau sebaliknya, apakah dengan FDS maka ada jaminan PPK berjalan?. Maka PPK nya yang harus dikedepankan. Kebijakan dari pemerintah pun pelaksanaan FDS ini tidak dipaksakan, melainkan kepada sekolah yang sudah siap saja. Saya setuju bahwa kebijakan ini tidak harus dipaksakan, namun yang harus diupayakan adalah penguatan pendidikan karakter” [ ]

Dari hasil diskusi tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa perspektif yang selama ini hadir di masyarakat adalah yaitu tentang Full Day School dan Sekolah 5 hari nya saja, padahal itu hanyalah sebuah implikasi. Sementara yang perlu dikedepankan adalah mengenai penguatan pendidikan karakter (PPK).

Dengan dilaksanakannya FDS tidak menjadi jaminan bahwa PPK dapat terlaksana. Begitu pula tanpa FDS, apakah berarti tidak terlaksana PPK di sekolah? Tidak seperti itu. Baik FDS maupun tidak, yang perlu ditumbuhkan adalah suasana, kultur budaya sekolah yang dapat mengembangkan nilai-nilai karakter pada siswa dan warga sekolah. Upaya pemerintah untuk melakukan penguatan pendidikan karakter salah satunya yaitu melalui kebijakan FDS dan sekolah 5 hari. Kebijakan ini pun tidak dapat dipaksakan. Bagi sekolah yang belum siap melaksanakan FDS ini, tidak menjadi masalah namun diharapkan upaya penguatan pendidikan karakter harus selalu dioptimalkan.

 

 

Kementerian Pendidikan BEM REMA UPI 2017

 

Hidup Mahasiswa!

Hidup Pendidikan Indonesia!


0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.