Oleh : Tim Riset dan Kajian Aliansi Mahasiswa UPI

Sejak Indonesia menyetujui pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) lewat UU No. 7 tahun 1994 menjadi awal mula pendidikan Indonesia diperdagangkan, pasalnya dalam perjanjian GATS (General Agreement on Trade in Services) pendidikan menjadi salah satu dari 12 sektor jasa yang diperdagangkan termasuk kesehatan, keuangan, transportasi, lingkungan dll. Pasca hal tersebut praktik-praktik liberalisasi, komersialisasi, dan privatisasi pendidikan di Indonesia semakin gencar dilaksanakan. Hal tersebut pula yang menyebabkan hak-hak masyarakat untuk mengakses pendidikan dasar maupun tinggi jadi sulit.

Pendidikan kini menjadi komoditas layaknya barang dagang, pada sektor pendidikan tinggi berbagai kebijakan dimunculkan untuk melanggengkan praktik-praktik liberalisasi, komersialisasi, dan privatisasi pendidikan. Hingga kini upaya menghilangkan tanggung jawab pemerintah terhadap pendidikan terus dilakukan. Di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) salah satu kebijakan tersebut adalah yang berkaitan dengan Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan Seleksi Mandiri (SM-UPI).

Status UPI yang kini Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN BH) memiliki otonomi tersendiri untuk mengelola universitasnya, namun bukan berarti mengabaikan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Kenyataannya UPI lewat jalur SM-UPI melakukan praktik penyelenggaraan pendidikan yang tidak berkeadilan dan diskriminatif, yang bertentangan dengan UU Dikti No. 12 tahun 2012 BAB II bagian kesatu pasal 6 poin b pendidikan tinggi diselenggarakan dengan prinsip demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai agama, nilai budaya, kemajemukan, persatuan, dan kesatuan bangsa, pasalnya peserta SM-UPI yang telah lolos “dipaksa” membayar uang pangkal yang besarannya mencapai 30 juta (beragam tiap prodi), konsekuensinya ketika tidak mampu membayar peserta tersebut dianggap mengundurkan diri. Secara tidak langsung UPI mematok SM-UPI sebagai seleksi hanya untuk “orang kaya” dan membatasi “orang miskin”, padahal tidak ada dalam perundang-undangan manapun yang menjelaskan bahwa SM merupakan jalur masuk untuk “orang kaya”, bahkan dalam Panduan SM-UPI 2016. Jalur SM-UPI secara implisit diorientasikan untuk mencari keuntungan dari mahasiswa baru, padahal sesuai UU Dikti No. 12 Tahun 2012 pasal (5) Penerimaan Mahasiswa baru Perguruan Tinggi merupakan seleksi akademis dan dilarang dikaitkan dengan tujuan komersial.

Hal ini menunjukkan bahwa UPI telah melakukan praktik-praktik komersialisasi pendidikan dalam SM-UPI yang jelas-jelas bertentangan dengan UU Dikti No. 12 tahun 2012. Data terakhir yang dikumpulkan tim Aliansi Mahasiswa UPI terdapat lebih dari 60 mahasiswa baru SM-UPI yang terkendala membayar biaya pendidikan SM-UPI yang mahal.
Surat pernyataan kesanggupan membayar biaya pendidikan (uang pangkal) peserta SM-UPI 2016 diberikan sebelum mereka diterima di UPI (lolos SM-UPI) hal ini menunjukkan indikasi adanya jual beli kursi mahasiswa di UPI, pada akhirnya hanya mahasiswa yang bersedia mengisi form pernyataan kesediaan membayar biaya pendidikan yang kemungkinan besar akan diterima, di sinilah praktik-praktik komersialisasi pendidikan terjadi di UPI.

Pada panduan SM-UPI bagian cara pendaftaran poin 5 Pendaftar mengikuti proses pengisian biodata, mengisi form kesediaan membayar biaya pendidikan, dan melakukan upload photo (foto formal) poin 7 Form pernyataan kesediaan membayar biaya pendidikan yang memiliki barcode dari sistem yang sudah dicetak sebelumnya bersamaan dengan bukti pendaftaran kemudian dikirim via pos ke Direktorat Akademik UPI dengan alamat Jl. Dr. Setiabudi No. 229 Bandung kode pos 4154 paling lambat tanggal 18 Juli 2016 cap pos sedangkan hasil seleksi mandiri diumumkan pada tanggal 3 Agustus 2016.

Permasalahan lain yang diterima oleh mahasiswa adalah penentuan golongan UKT yang tidak sesuai dengan kemampuan ekonomi, hasil survei yang pernah dilakukan oleh Aliansi Mahasiswa UPI terkait penerapan UKT di angkatan 2013, 2014, 2015 didapatkan sampel sejumlah 1254 responden. 1217 responden dari survei tersebut menyatakan keberatan atas golongan UKT yang mereka, itu menjadi bukti kecil bahwa besaran UKT di UPI tidak sesuai dengan kemampuan ekonomi mahasiswanya. Selain itu dalam Permenrisktekdikti No. 39 tahun 2016 pasal (6) (1) Pemimpin PTN dapat melakukan penetapan ulang pemberlakuan UKT terhadap mahasiswa apabila terdapat: a. ketidaksesuaian kemampuan ekonomi mahasiswa yang diajukan oleh mahasiswa, orang tua mahasiswa, atau pihak lain yang membiayainya; dan/atau b. pemutakhiran data kemampuan ekonomi mahasiswa, orang tua mahasiswa, atau pihak lain yang membiayainya. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan ulang pemberlakuan UKT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh Pemimpin PTN. Kenyataannya UPI tidak memberikan wadah kepada mahasiswa, orang tua mahasiswa, atau pihak lain yang membiayainya untuk mengajukan ketidaksesuaian golongan UKT dengan kemampuan ekonomi mahasiswa.

Dalam proses penyelenggaraan UKT dan SM-UPI tidak ada transparansi dan akuntabilitas sebagai konsekuensi UPI berstatus PTN BH. Informasi mengenai penjabaran dari tiap-tiap komponen biaya pendidikan SM-UPI pun tidak jelas. Proses penentuan golongan UKT pun tidak transparan, prosedur penentuan besaran tiap golongan UKT di tiap prodi pun tidak jelas. UPI sebagai lembaga publik masih tertutup soal informasi yang harusnya dapat diakses oleh mahasiswa ataupun masyarakat luas. Ada pula ketidakjelasan sistem pembayaran biaya pendidikan seperti apa yang digunakan untuk SM-UPI, apakah UKT atau SPP + Uang Pangkal.
Lain halnya dengan mahasiswa bidikmisi, pada SM-UPI 2016 UPI tidak membuka jalur bidikmisi pada jalur tersebut, padahal sesuai dengan Pedoman Penyelenggaraan Bantuan Biaya Pendidikan Bidikmisi Tahun 2016 pada bagian A. Persyaratan Calon Penerima poin 5 Pendaftar difasilitasi untuk memilih salah satu di antara PTN atau PTS dengan ketentuan: a. PTN dengan pilihan seleksi masuk: 1) Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN); 2) Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMTPN); 3) Seleksi mandiri PTN. b. Politeknik, UT, dan ISI c. PTS sesuai dengan pilihan seleksi masuk. Lalu juga dalam bagian B. Kuota Mahasiswa Baru poin 1 Kuota Bidikmisi diperuntukkan bagi mahasiswa yang lulus: a. SNMPTN b. SBMPTN; c. Seleksi Mandiri PTN. d. Seleksi di Politeknik, UT, dan ISI e. Seleksi di PTS. Hal tersebut menegaskan bahwa calon penerima bidikmisi memiliki hak untuk mendaftarkan diri pada seleksi mandiri PTN, dan PTN pun sebetulnya mendapatkan kuota untuk penerima bidikmisi di jalur seleksi mandiri.

Pemaparan singkat dari tim riset dan kajian Aliansi Mahasiswa ini menjelaskan dosa-dosa rektorat kepada mahasiswa UPI, tentunya UPI wajib memperbaiki kesalahan tersebut dan meminta maaf pada mahasiswa UPI. Maka berdasarkan kajian dan analisis yang kami lakukan dengan ini kami Aliansi Mahasiswa UPI menuntut rektorat UPI untuk,

1.Hapuskan Uang Pangkal SM-UPI
2.Tetapkan peserta yang lolos SM-UPI menjadi Mahasiswa UPI
3. Transparansikan segala proses penyelenggaraan UKT dan SM-UPI
4.Adakan Bidikmisi pada Jalur SM-UPI
5. Adakan wadah untuk mengajukan keberatan atas ketidaksesuaian antara UKT mahasiswa dengan kemampuan ekonomi mahasiswa, orang tua mahasiswa, atau pihak lain yang membiayainya.

Kategori: Acara Rema

0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.