Sebelum membahas lebih jauh mengenai liberalisasi pendidikan di perguruan tinggi, apa sih liberalisasi pendidikan? liberalisasi pendidikan merupakan sebuah sistem yang sengaja diciptakan untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya dari sektor pendidikan. Jika di tingkat perguruan tinggi, liberalisasi pendidikan itu merupakan pelayanan jasa pendidikan tinggi yang bisa diakses oleh masyarakat global sebagai akibat dari ‘perdagangan’ jasa pendidikan tinggi yang diformalkan oleh organisasi perdagangan dunia, World Trade Organization (WTO). liberalisasi pendidikan tinggi dalam konteks ini bermula dari WTO yang menganggap pendidikan tinggi sebagai jasa yang bisa diperdagangkan atau diperjualbelikan. Sebagai catatan, pemerintah RI telah meratifikasi WTO melalui UU No 7/1994. Dengan demikian, sejak saat itu Indonesia menjadi salah satu anggota WTO yang memiliki kewajiban untuk menaati segala aturan main yang ada di dalamnya.

Jual beli jasa pendidikan tinggi

Sampai saat ini WTO telah membagi belasan sektor jasa yang dapat diperdagangkan di tingkat dunia. Adapun satu dari belasan sektor tersebut adalah jasa pendidikan. Karena pendidikan dimasukkan dalam sektor jasa maka pendidikan menjadi sesuatu yang dijualbelikan. Jadi, praktik perdagangan atau jual beli jasa pendidikan hukumnya sah dan dapat dipertanggungjawabkan menurut kacamata WTO.

Sebagai negara yang memiliki 210 juta penduduk yang tingkat partisipasi pendidikan tinggi hanya 14 persen dari jumlah penduduk usia 19-24 tahun, Indonesia ternyata menjadi incaran negara-negara ekportir jasa pendidikan dan pelatiohan, Karena perhatian pemerintah terhadap bidang pendidikan masih rendah, secara umum mutu pendidikan nasional kita, mulai dari sekolah dasar sampai pendidikan tinggi, jauh tertinggal dari standar mutu internasional. Kedua alasan tersebut sering menjadi alasan untuk “mengundang” masuknya penyedia jasa pendidikan dan pelatihan luar negeri ke Indonesia. Untuk lebih meningkatkan ekspor jasa pendidikan tinggi ke negara-negara berkembang, intervensi pemerintah dalam sector jasa tersebut harus dihilangkan.  Liberalisasi semacam itulah yang hendak dicaai melalui General Agreement on Trade in Services (GATS).

Jual beli jasa pendidikan tinggi dalam kondisi interpendensi asimetris apalagi jika jasa pendidikan tinggi ini dilandasi hanya untuk profit semata itu sangat menyeleweng dengan tujuan pendidikan sebenarnya. Model jual beli jasa pendidikan tinggi ini juga sudah disediakan oleh WTO, diantaranya : Pertama, disebut Model Cross Border Supply. Dalam hal ini suatu lembaga pendidikan pada suatu negara menjual jasa pendidikan dengan menawarkan kuliah online degree program.

Kedua, disebut Model Consumption Abroad. Dalam hal ini lembaga pendidikan suatu negara menjual jasa pendidikan dengan menghadirkan konsumen dari negara lain

Ketiga, disebut Model Movement of Natural Persons. Dalam hal ini lembaga pendidikan di suatu negara menjual jasa pendidikan ke konsumen di negara lain dengan cara mengirimkan personelnya ke negara konsumen. Contohnya banyak perguruan tinggi kita seperti UI, UGM, dan beberapa PTS yang ternama mempekerjakan dosen dari Luar Negeri. Sebaliknya ada beberapa perguruan tinggi di luar negeri seperti Monash University di Australia dan National University of Singapore (NUS) di Singapura telah mempekerjakan dosen yang berasal dari Indonesia.

Keempat, disebut Model Commercial Presence, yaitu penjualan jasa pendidikan oleh lembaga di suatu negara bagi konsumen yang berada di negara lain dengan mewajibkan kehadiran secara fisik lembaga penjual jasa dari negara tersebut. Contohnya Hadirnya PTA untuk menjual jasa pendidikan tinggi kepada konsumen di Indonesia.

Skema liberalisasi pendidikan di perguruan tinggi

Terciptanya sistem seperti akreditasi menyebabkan terjadinya iklim persaingan antar perguruan tinggi. Lembaga-lembaga pemberi peringkat dan termasuk pemerintah menetapkan indikator-indikator bagi perguruan tinggi untuk memperoleh peringkat, gelar, dan akreditasi itu. Secara umum indikator-indikator yang ditetapkan memiliki kesamaan seperti jumlah riset yang terpublikasi internasional, jumlah sitasi,dll. Untuk menunjang kegiatan tersebut, perguruan tinggi harus menyediakan sarana prasaran sehingga membutuhkan banyak biaya. Untuk mencari biaya tersebut, perguruan tinggi biasanya paling besar membebankan kepada para mahasiswa. Dana yang terkumpul oleh perguruan tinggi diprioritaskan untuk pembangunan (baik itu fisik maupun non-fisik). Pembangunan ditujukan untuk menunjang pencapaian indikator perolehan peringkat, akreditasi, hingga gelar. Pencapaian indikator-indikator itu akan meningkatkan reputasi suatu perguruan tinggi. Reputasi ini akan berguna untuk menarik minat calon mahasiswa, investasi, lembaga donor, dan lainnya. Semakin baik reputasinya, semakin banyak yang berminat. Hukum pasar pun berlaku di sini. Banyak permintaan, akan tetapi ketersediaan terbatas. Para calon mahasiswa saling memperebutkan kursi. Perguruan tinggi yang meningkat posisi tawarnya, menjadi percaya diri untuk menaikkan tarif uang kuliah entah dengan menaikkan UKT maupun meninggikan Uang Pangkal. Dana yang terkumpul menjadi semakin banyak. Pembangunan menjadi semakin gencar. Reputasi semakin melangit. Reputasi itu digunakan untuk menaikkan posisi tawar di pasar, lalu untuk menaikkan tarif uang kuliah, lalu pembangunan lagi, menaikkan reputasi lagi, dan seterusnya.

Pendidikan Bagi yang Mampu

Sebagaimana tujuan pembangunan pendidikan, yaitu menjamin kualitas pendidikan yang inklusif, merata, dan meningkatkan kesempatan belajar sepanjang hayat untuk semua, maka pendidikan harus dapat diakses oleh setiap orang dengan tidak dibatasi oleh usia, tempat, dan waktu. Salah satunya pemerintah juga harus menjamin keberpihakan kepada peserta didik yang memiliki hambatan ekonomi. Tetapi pada dasarnya, dengan adanya liberalisasi pendidikan ini, akses menuju perguruan tinggi hanya untuk orang-orang yang mampu saja.

sumber: BPS, Susenas Maret 2019

Tabel di atas menunjukkan tingkat pendidikan berdasarkan usia dan statis ekonominya pada tahun 2019 dan ternyata status ekonomi masih membedakan capaian tingkat pendidikan penduduk. Semakin tinggi status ekonomi penduduk, semakin tinggi jenjang pendidikan yang dapat diselesaikan. Pada jenjang pendidikan SM ke atas, ketimpangan pendidikan antara status ekonomi terbawah (Kuintil 1) dan teratas (Kuintil 5) nyata terlihat. Bahkan, kesenjangan tersebut semakin melebar pada jenjang Perguruan Tinggi.

Persentase penduduk 15 tahun ke atas yang tamat PT dari rumah tangga dengan status ekonomi teratas (Kuintil 5) jauh lebih besar dibanding rumah tangga dengan status ekonomi terbawah (Kuintil 1), yaitu 24,95 persen berbanding 1,72 persen.

Dengan demikian, jika pemerintah masih saja tidak menangani permasalahan liberalisasi pendidikan ini, maka pendidikan di perguruan tinggi hanya untuk orang yang memiliki status ekonomi yang tinggi saja dan sangat menyeleweng dengan tujuan pendidikan yang sebenarnya.

Penulis: Lutfia Khoerunnisa

Sumber Rujukan:

Effendi, P. D. (2005). GATS dan Liberalisasi Pendidikan Tinggi. Neo-imprialisme modern dalam Pendidkan.

Mukilah, P. (2019). Kuliah Kok Mahal? Yogyakarta: Best Line Press.

Sosial, S. D. (2019). Potret Pendidikan Indonesia (Statistik Pendidikan Indonesia 2019). Jakarta: Badan Pusat Statistik.

Kategori: Kemendagri

0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.